Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku Dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Bagus. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante Hesti yang mengendari mobil itu, dan sendirian.
“Dit, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain,” panggil Tante Hesti sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante Hesti lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante Hesti, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” Kata Tante Hesti sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante Hesti beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Bagus,” Tanya Tante Hesti tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Bagus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Bagus nggak pernah dijemput,” jawab Tante Hesti.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Hesti mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan.
Tante Hesti melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante Hesti mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante Hesti langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi.
Setelah masuk taksi, Tante Hesti memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dit, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata Tante Hesti memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di kunci.
Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di situ. Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante Hesti. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.
“Bagus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Bagus,” Tante Hesti menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante Hesti terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan.
“Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante Hesti, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
Akhirnya Tante Hesti cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin. filmbokepjepang.com Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante Hesti lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah.
“Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.”
Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante Hesti, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante Hesti kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante Hesti. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya.
Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Hesti yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante Hesti pun melakukan hal yang sama padaku.
Tante Hesti sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri.
Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Hesti telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH.
Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante Hesti membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante Hesti manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante Hesti, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante Hesti tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku.
Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Hesti itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat. Setelah itu Tante Hesti membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya.
Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante Hesti yang cukup besar itu, sedang Tante Hesti mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante Hesti mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante Hesti makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante Hesti bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante Hesti mendorong tubuhku pelan ke belakang.
Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang.
Sampai di pinggir ranjang, Tante Hesti sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai.
Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap Tante Hesti kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante Hesti yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai.
Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, istimewa dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante Hesti yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante Hesti menahanku.
Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante Hesti berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya.
Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan. Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.
“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante Hesti ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante Hesti memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan.
Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante Hesti, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante Hesti.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ” gerakan Tante Hesti makin cepat sambil meracau.
Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante Hesti. Aku merasakan kepala penisku Dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang.
Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Hesti yang persis berada di depan mataku. Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Hesti mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante Hesti diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.
Tante Hesti bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Hesti, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada Tante Hesti yang semakin menambah tidak karuan racauannya.
Rupanya, aksi Tante Hesti itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante Hesti ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante Hesti terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam.
Tante Hesti menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante Hesti terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Hesti banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante Hesti mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Hesti berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Bagus. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante Hesti memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante Hesti dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Hesti memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima.
Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante Hesti menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus.
Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak Ditetahui orang lain, terutama keluarga Tante Hesti.
Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya Dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek, mulai Dikenal sebagai play boy.
Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya ceritakan petualangan saya tersebut).
Begitulah kisah awalku dengan Tante Hesti, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante Hesti, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali.
Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante Hesti sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante Hesti tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.
Begitulah, Tante Hesti yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga.,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Tamat – Bagian 1